PENGARUH KEARIFAN
BUDAYA LOKAL TERHADAP GENERASI MUDA
BAB I
A. PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Dari sisi etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada
karaktreristik masing-masing keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang
lain, karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur memiliki sumber daya
kearifan, di mana pada masa-masa lalu merupakan sumber nilai dan inspirasi
dalam strategi memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan diri dan merajut
kesejehteraan kehidupan mereka. Artinya masing-masing etnis itu memiliki
kearifan lokal sendiri, seperti etnis Lampung yang dikenal terbuka menerima
etnis lain sebagai saudara (adat Muari, angkon), etnis Batak juga terbuka, Jawa
terkenal dengan tata-krama dan perilaku yang lembut, etnis Madura dan Bugis
memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletannya
dalam usaha. Demikian juga etnis-etnis lain seperti, Minang, Aceh, Sunda,
Toraja, Sasak, Nias, juga memiliki budaya dan pedoman hidup masing yang khas
sesuai dengan keyakinan dan tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai
kesejehtaraan berasma. Beberapa nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk
hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat
relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka,
sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan masyarakat
setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan sosial
budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan visi
dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam
bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling
melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial
yang berlaku.
Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi
sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri di
masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan
identitas budaya suatu daerah.Selain itu, keanekaragaman merupakan kekayaan
intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang harus
dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya
menuju kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan
nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap
eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan
nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih
sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi
atau bahkan dikembangkan lebih jauh.
Namun demikian dalam kenyataannya nilai-nilai budaya luhur
itu mulai meredup, memudar, kearifan lokal kehilangan makna
substantifnya. Upaya-upaya pelestarian hanya nampak sekedar pernyataan
simbolik tanpa arti, penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan
sehari-hari. Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun terakhir, budaya
masyarakat sebagai sumber daya kearifan lokal nyaris mengalami reduksi secara
menyeluruh, dan nampak sekadar pajangan formalitas, bahkan seringkali
lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan untuk komersialisasi dan
kepentingan kekuasaan.
Kenyataaan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa
cenderung kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal
sebagai sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan
kesejahtaraan bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan
kreativitas dalam memahami prinsip kearifan lokal. Khusus kearifan lokal
Lampung adalah prinsip hidup "piil Pesenggiri". Hal ini
disebabkan oleh adanya penyimpangan kepentingan para elit masyarakat dan
pemerintah yang cenderung lebih memihak kepada kepentingan pribadi dan golongan
dari pada kepentingan umum.Kepentingan subyektivitas kearifan lokal ini selalu
dimanfaatkan untuk mendapatkan status kekuasaan dan menimbun harta
dunia. Para elit ini biasanya melakukan pencitraan ideal kearifan lokal di
hadapan publik seolah membawa misi kebaikan bersama. Akan tetapi
sebagaimana diketahui bahwa pada realisasinya justru nilai-nilai luhur yang
terkandung di dalamnya tidak lebih hanya sekedar alat untuk memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan. Pada gilirannya, masyarakat luas yang struktur
dan hubungan sosial budayanya masih bersifat obyektif sederhana makin tersesat
meneladani sikap dan perilaku elit mereka, juga makin lelah menanti janji masa
depan, sehingga akhirnya mereka pesimis, putus asa dan kehilangan kepercayaan.
Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu terhadap
kemungkinan nilai-nilai luhur budaya itu dapat menjadi model kearifan lokal,
akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap niscaya
dilakukan. Masyarakat adat daerah memiliki kewajiban untuk kembali kepada
jati diri mereka melalui penggalian dan pemaknaan nilai-nilai luhur budaya yang
ada sebagai sumber daya kearifan lokal. Upaya ini perlu dilakukan untuk
menguak makna substantif kearifan lokal, di mana masyarakat harus membuka
kesadaran, kejujuran dan sejumlah nilai budaya luhur untuk sosialisasikan dan
dikembangkan menjadi prinsip hidup yang bermartabat. Misalnya nilai budaya
"menemui-Nyimah" sebagai kehalusan budi diformulasi sebagai
keramahtamahan yang tulus dalam pergaulan hidup. Piil Pesenggiri sebagai
prinsip hidup niscaya terhormat dan memiliki harga diri ditempatkan dalam upaya
pengembangan kinerja, kreativitas dan peran yang bermanfaat bagi masyarakat,
demikian juga dengan makna-makna kearifan lokal nilai-nilai budaya
lainnya. Kemudian pada gilirannya, nilai-nilai budaya ini harus
disebarluaskan dan membumi ke dalam seluruh kehidupan masyarakat agar dapat
menjadi jati diri masyarakat daerah. Keberadaan piil Pesenggiri merupakan
aset (modal, kekayaan) budaya bangsa yang harus dilindungi dan dilestarikan
untuk meningkatkan kesadaran jatidiri bangsa untuk diteruskan kepada generasi berikutnya
dalam keadaan baik.
Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan hanya
berfungsi menjadi filter ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan
tuntutan perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai budaya lokal berbicara pada
tataran penawaran terhadap sumberdaya nilai-nilai kearifan lokal sebagai
pedoman moral dalam penyelesaian masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan
dengan pertumbuhan antagonis berbagai kepentingan hidup.
Sebagaimana contoh pada kehidupan masyarakat lokal, proses
kompromi budaya selalu memperhatikan elemen-elemen budaya lokal ketika
berhadapan dengan budaya-budaya yang baru. Elemen-elemen itu
dipertimbangkan, dipilah dan dipilih mana yang relevan dan mana pula yang
bertentangan. Hasilnya selalu menunjukkan wajah sebuah kompromi yang
elegan, setiap elemen mendapatkan tempat dan muncul dalam bentuknya yang baru
sebagai sebuah kesatuan yang harmonis.
Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak
lepas dari hasil kompromi keadilan yang menyentuh kepentingan berbagai pihak. Kepentingan-kepentingan
yang dimaksud sangat luas cakupannya, tetapi secara garis besar meliputi
berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia,
terutama yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat kebijakan harus
mampu memilah dan memilih proses kompromi yang menguntungkan semua pihak,
kemudian menyikapi, menata, menindak ¬ lanjuti arah perubahan
kepetingan-kepentingan itu agar tetap dalam prinsip
kebersarnaan. Kebudayaan sebagai lumbung nilai-nilai budaya lokal bisa
menjadi sebuah pedoman dalam upaya rnerangkai berbagai kepentingan yang ada
secara harmonis, tanpa ada pihak yang dikorbankan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini perlu dikaji tentang
pengertian kearifan budaya local, pengertian generasi muda, permasalahan yang terjadi
dan cara mengatasi nya yang berkaitan
dengan regulasi penataan harmonisasi kehidupan masyarakat, dapat diakomodasikan
dengan baik dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan kesejehtaraan dan
keadilan sosial.
BAB II
B.
ISI
a.
Pengertian Kearifan budaya local
Secara etimologis, kearifan (wisdom) berarti kemampuan
seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian,
obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi di mana
peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal
secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu
masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan
berperilaku sehari-hari.
Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi
dan memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat. Oleh karena
itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan
martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Perilaku yang bersifat
umum dan berlaku di masyarakat secara luas, turun temurun, akan berkembang
menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai
budaya. Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah
mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah, 2003).
Kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai usaha
manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap
terhadap sesuatu, benda, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
b.
Pengertian Generasi Muda
Dalam pola pembinaan dan pengembangan
generasi muda ( Menteri Muda Urusan Pemuda Jakarta 1982) secara umum generasi
muda diartikan sebagai golongan manusia yang berusia muda.25 Pengertian generasi muda dalam lokakarya tentang generasi muda
yang diselenggarakan tanggal 4 – 7 Oktober 1978, dibedakan dalam beberapa
kategori :
1.Biologi : generasi muda adalah
mereka yang berusia 12-15 tahun ( remaja ) dan 15-30 tahun ( pemuda ).
2.Budaya, generasi muda adalah mereka
yang berusia 13-14 tahun.
3.Angkatan kerja, yang dibuat oleh
Depkaner adalah yang berusia 18-22 tahun.
4.Kepentingan perencanaan
pembangunan, yang disebut sebagai sumber daya manusia muda adalah yang berusia
0-18 tahun
5.Idiologi politik, generasi muda
yang menjadi pengganti adalah mereka yang berusia 18-40 tahun.
6.Lembaga dan lingkungan hidup
sosial, generasi muda dibedakan menjadi 3 kategori :
- Siswa, yakni usia 6-8 tahun
- Mahasiswa, yakni usia 18-25 tahun
- Pemuda yang berada diluar sekolah /
PT berusia 15-30 tahun
Dalam pengertian GBHN 1993 telah
dijelaskan menjadi anak, remaja, dan pemuda, sedangkan ditinjau dari segi usia
adalah sebagai berikut :
1.Usia 0-5 tahun di sebut balita
2.Usia 5-12 tahun di sebut anak usia
sekolah
3.Usia 12-15 tahun di sebut remaja
4.Usia 15-30 tahun di sebut pemuda,
dan
Mengenai persepsi tentang generasi
muda sampai sekarang ini belum ada kesepakatan para ahli, namun pada dasarnya
ada kesamaan mengenai pengertian generasi muda tersebut, yaitu beralihnya
seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa remaja atau muda dengan disertai
perkembangan fisik dan non fisik (jasmani, emosi, pola pikirannya dan
sebagainya ). Jadi generasi muda itu adalah sebagai generasi peralihan. Dan
dalam pandangan orang tua belum dewasa generasi muda merupakan generasi penerus
bangsa yang harus dipersiapkan dalam mencapai cita-cita bangsa, bila generasi
muda telah dipercaya dan mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi dalam
memperjuangkan amanah itu maka suatu bangsa tidak akan sia-sia dalam mendidik
generasi tersebut, maka dari itu nilai yang dibangun dalam membentuk generasi
muda ini adalah untuk menyiapkan penerus bangsa untuk melanjutkan perjuangan
para pahlawan, baik yang gugur membela bangsa dan yang gugur dalam
membangun bansa ini, namun apabila yang menjadi cita-cita bangsa ini gagal,
maka akan hancurlah harapan dari bangsa yang tercinta ini.
Memang tidak semudah yang kita
bayangkan dalam membangun generasi muda sebagai penerus bangsa ini, namun kita
harus optimis bahwa yang kita persiapkan nantinya akan dapat mencapai hasil
yang maksimal, masa muda yang penuh kesenangan dan diwarnai senda gurau, akan
tetapi hal itu tidak dapat dibiarkan begitu saja karena bila tidak ada control
yang jelas maka dampaknya mungkin kurang baik, untuk itu alangkah baiknya pada
masa tersebut dimasukkkan nilai-nilai yang dapat membantu serta mendorong
generasi agar bisa memberikan yang terbaik baik kepada keluarga, sekolah maupun
lingkungan masyarakat.
Sesuai dengan obyek penelitian, maka
penulis mengambil daripada upaya guru agama dalam membina mental generasi muda,
karena generasi muda yang identik dengan persoalan-persoalan yang kadang mereka
sendiri tidak mampu memecahkan dalam kehidupan sehari-hari, hal tersebut dapat
kita saksikan prilaku mereka yang selalu menjadi bahan pembicaraan, baik di
media cetak maupun media elektronik.
c.
Krisis Indentitas dan Jati Diri
Globalisasi sebagai
sebuah proses ketergantungan dan konektifitas antar bangsa dan merupakan buah
dari modernitas tidaklah bebas nilai. Globaliasasi masuk ke Indonesia
dengan membawa nilai-nilai yang mendominasi globalisasi itu (baca: nilai budaya
barat), yang dalam beberapa hal tidak tidak sesuai dengan nilai dan norma
budaya bangsa Indonesia.
Krisis identitas dan
jati diri telah menyebabkan sebagian generasi muda Indonesia sederhana mengekor
dan ikut-ikutan terhadap apapun yang dijejalkan kepada mereka.Barat sebagai
pihak yang mendominasi globalisasi dianggap unggul, sehingga apapun yang datang
dari barat dianggap baik dan diadopsi begitu saja tanpa disikapi secara
kritis.Budaya membeo dan mengekor ini telah menyebabkan sebagian generasi muda
terlihat kebarat-baratan, ke-jepang-jepangan, ke-korea-koreaan atau bahkan
berideologi marx, komunis dan sebagainya.
Krisis identitas juga
telah menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan 'kharisma' dan 'pengakuan' dari
negara lain. Bangsa Indonesia seakan kehilangan fitur khusus, keunikan dan
partikularitas. Dalam pergaulan Internasional, misalnya, ketika berbicara
tentang Islam maka yang menjadi sorotan adalah negara-negara sekitar wilayah
Timur Tengah.Meskipun pada kenyataannya, Indonesia adalah negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia dengan ciri keislaman yang unik dan khas, yang
seharusnya turut mewarnai wacana keislaman secara global. Sebaliknya,
wacana Islam keindonesiaan tidak tampak di situ.
Sebagai tambahan, krisis
identitas juga dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa nasionalisme
pemuda. Budaya asing yang terbawa bersama globalisasi tidak membentuk pola
pikir, namun menawarkan nilai. Tidak membebaskan namun menghilangkan
kesadaran. Sehingga pemuda yang terbiasa dengan nilai budaya asing akan
menentang nilai-nilai budaya lokal. Menganggap segala yang berbau lokal
terbelakang, tertinggal dan harus diubah. Dari sini nasionalisme akan
tergerus, terkikis bahkan pada akhirnya akan hilang.
d.
Perlunya Nilai Budaya Lokal
Rasa bangga akan
nilai-nilai budaya dan kearifan lokal seharusnya mulai dipupuk sejak dini untuk
menghindari krisis identitas dan jati diri generasi muda.
Nilai-nilai primordial tidak selalu
berarti bersikap eksklusif dan memandang segala hal secara konservatif tanpa
menerima nilai budaya lain. Berideologi lokal berarti menjadikan
nilai-nilai lokal sebagai filter dalam menerima nilai budaya
asing. Berkearifan lokal juga berarti bersikap terbuka dan terus menerima
masukan dari budaya manapun dalam rangka memperkaya dan mengaktualisasikan nilai-nilai
budaya lokal.
Pemuda yang telah
mengenal dan mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal sejak dini akan
menggunakannya sebagai pisau analisis dalam membedah dan memisahkan unsur nilai
dari unsur teknologi. Ia akan bisa menentukan mana hal yang perlu diadopsi
dan mana yang perlu dintinggalkan. Ia akan selalu bersikap kritis dalam
menyikapi setiap fenomena yang dihadapinya. Dengan identitas yang jelas,
pemuda semacam ini tidak akan mudah mengekor dan ikut-ikutan mengadopsi nilai
budaya lain. Sehingga, ia akan tetap menjadi manusia Indonesia modern
berciri lokal.
Selain terjaminnya
nasionalisme pemuda, identitas yang jelas juga akan memberikan rasa percaya
diri kepada generasi muda untuk membawa dan memperkenalkan partikularitas yang
melekat kuat pada tradisi bangsa dalam pergaulan internasional. Nantinya
fitur khusus ini akan tersebar, dikenal dan dihargai sebagai bagian integral
dari bangsa Indonesia. Dengan begitu, Indonesia akan punya kharisma dan
nilai khusus yang bisa dibanggakan di mata dunia internasional.
e.
Permasalahan
1. Kekuatan (Strength)
a. Kekuatan dari suatu nilai kearifan
dalam berbudaya lokal adalah perlu adanya bimbingan terhadap generasi muda kita
agar nilai dalam unsur kebudayaan yang ada di indonesia tetap melekat pada diri
generasi muda kita sehingga tidak hilang suatu ajaran yang bernilai positif
pada kebudayaan yang ada di indonesia.
b. Nilai Bhineka Tunggal Ika sebagai
sikap social yang menyadari akan kebersamaan ditengah perbedaan, dan perbedaan
dalam kebersamaan. Semangat ini sangat penting untuk diaktualisasikan dalam
tantanan kehidupan social yang multicultural.
c. Nilai moral sosial itu terkait
hubungan manusia dengan manusia yang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
melakukan hubungan tersebut, manusia perlu memahami norma-norma yang berlaku
agar hubungannya dapat berjalan lancar atau tidak terjadi kesalah pahaman.
d. Nilai kearifan lokal menyama
braya; mengandung makna persamaan dan persaudaraan dan pengakuan social bahwa
kita adalah bersaudara. Sebagai satu kesatuan sosial persaudaraan maka sikap
dan prilaku dalam memandang orang lain sebagai saudara yang patut diajak
bersama dalam suka dan duka
2. Kelemahan (Weakness)
Kurang adanya partisipasi kepada
seluruh kalangan masyarakat ataupun generasi muda untuk mempertahankan suatu
kebudayaan yang ada di indonesia, kebudayaan yang turunan dari leluhur kita dan
banyak sekali mengandung arti tersendiri bagi bangsa indonesia yaitu nilai arti
dalam kehidupan sosial baik dalam bertutur kata yang baik ataupun tingkah laku.
Seiring dengan perkembangan pesatnya
suatu zaman sehingga nilai dari kearifan kebudayaan yang ada maka
tertinggalah suatu nilai kebudayaan di indonesia sehingga sedikit sekali
masyarakat indonesia yang masih melestarikan budaya indonesia yang ada pada
saat ini.
Kurang dapat perhatian dari
pemerintah sekitar mengenai kearifan kebudayaan yang ada disekitarnya sehingga
masyarakat sekitarnya kurang begitu mau mempelajarinya sehingga norma-norma
yang terkandung dalam suatu kearifan kebudayaan yang ada di indonesia sedikit
terlupakan.
Lemahnya bangsa indonesia akan
pentingnya pelestarian kebudayaan yang telah dimiliki karena bangsa indonesia
sendiri memiliki banyak kekayaan budaya sehingga banyak wisatawan asing yang
ingin berkunjung ke indonesia untuk melihat langsung kebudayaan ataupun
kesenian yang ada di indonesia.
3. Peluang (Opportunity)
a)
Indonesia mampu bersaing dengan negara lain mengenai suatu unsur kearifan dalam
kebudayaannya karena indonesia itu memiliki suatu nilai norma kehidupan yang
terkandung dalam karakteristik setiap seseorang sehingga terciptalah suatu arti
bihneka tunggal ika.
b)
Mampu menciptakan daya tarik tersendiri kepada wisatawan mancanegara untuk
datang ke indonesia, karena indonesia itu sendiri memiliki keaneka ragaman suku
bangsa dan budaya serta memiliki norma-norma kehidupan yang baik dalam
berperilaku sehari-hari sehingga banyak wisatawan asing mencontoh nilai
kebudayaan bangsa indonesia untuk dikembangkan lagi dinegaranya pada saat dia
kembali.
c)
Mempunyai nilai tersendiri bagi bangsa indonesia untuk bersaing dalam kemajuan
teknologi yang terjadi pada zaman sekarang sehingga nilai karakteristik yang
terdapat pada bangsa indonesia tidak hilang karena indonesia dikenal oleh
negara lain dengan negara yang mempunyai kebubayaan yang banyak dan mempunyai
kekayaan alam yang dapat mencukupi kehidupan setiap warga negaranya.
d) Dapat
memajukan nilai kearifan kebudayaan indonesia dengan suatu tindakan atau
perilaku yang baik dan mencerminkan bahwa bangsa indonesia dalam bertutur kata
atau dalam kehidupan keseharian mempunya sifat ramah tamah sehingga mempunyai
daya tarik tersendiri untuk negara lain sehingga mereka mau berkujung ke
indonesia
4. Tantangan/Hambatan (Threats)
a)
Tantang bagi seluruh kalangan masyarakat indonesia adalah bagaimana caranya
melestarikan budaya indonesia agar kebudayaan dan cerminan perilaku bangsa
indonesia dalam berbudaya tidak punah dan tidak pula ketinggalan zaman.
b)
Kemajuan pesat teknologi pada saat ini sehingga sedikit sekali masyarakat
indonesia mempunyai peranan penting dalam tanggung jawab bersama sebagai dalam
memajukan kebudayaan yang ada di indonesia.
c)
Terlalu mengesampingkan perihal mengenai kebudayaan yang ada di indonesia dan
masyarakat indonesia juga terlalu mengikuti perkembangan zaman jadi sedikit
sekali perhatian terhadap setiap warga negara indonesia dalam berpartisipasi
memajukan budaya indonesia.
d) Kearifan
dalam sifat perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari perlu mendapatkan
perhatian khusus karena pada dasarnya ini semua kembali kepada masyarakat indonesianya
juga untuk melestarikan kebudayaan yang ada di indonesia.
f. Cara Mengatasi
Salah satu solusi yang
paling ampuh untuk mengatasi semua dampak negatif modernisasi salah satunya
adalah dengan cara membangkitkan, mengedepankan, dan menerapakan kearifan
lokal (Local Wisdom) yang dimiliki oleh masyarakat di tiap-tiap
daerah di Indonesia, karena rakyat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa
dengan adat istidat berbeda-beda dan tentunya setiap suku bangsa memiliki
kearifan lokal khas tersendiri. Secara umum kearifan lokal yang dimiliki bangsa
Indonesia adalah budaya gotong royong, toleransi, simpati, dan empati yang
telah terpupuk sejak zaman nenek moyang. Dalam literatur-literatur sejarah
mulai dari zaman pra sejarah, kerajaan Hindhu-Budha, kerajaan Islam
sampai zaman pergerakan nasional bangsa Indonesia terkenal dengan kearifan
lokal dalam bentuk budaya–budaya positif yang telah disebutkan di atas. Contoh
nyata tentang keampuhan penerapan nilai-nilai kearifan lokal adalah ketika
gempa bumi mengguncang Yogyakarta, warga Yogyakarta bahu membahu dengan
pemerintah dan relawan membangun kembali Yoyakarta yang telah luluh lantak,
proses rekonstruksi pasca gempa di Yogyakarta merupakan rekonstruksi pasca
gempa paling cepat di Indonesia.
BAB III
C.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Pendididikan tentang
kearifan lokal juga sangat perlu untuk diberikan kepada para generasi muda
penerus bangsa sehingga ketika mereka dewasa nanti mereka tidak melupakan
kearifan Pendididikan tentang kearifan lokal juga sangat perlu untuk diberikan
kepada para generasi lokal warisan nenek moyangnya dan siap menghadapi
tantangan zaman serta proses modernisasi tiada henti. Dalam proses
pendidikan ini sangat diperlukan dukungan dari berbagai pihak, terutama
dari orang tua, dan guru di Sekolah, sebagai pihak pengganti orang tua bagi
siswa-siswinya. Orang tua berperan sebagai guru utama dan
pemberi suri tauladan (uswatun hasanah) yang baik bagi anaknya
dalam proses penerapan nilai-nilai kearifan lokal sehingga tidak
terjadi kesenjangan yang tinggi antara teori dan praktek dilapangan, dan
guru berperan memberikan pendidikan tentang kearifan lokal secara formal
melalui pelajaran di Sekolah.
DAFTAR PUSTAKA